Un Chien Andalou di mata saya…

9 10 2010

Dalam dunia perfilman, ada satu kesimpulan bahwa film adalah produk dari masyarakat dan zamannya. Bila dilihat secara umum, kesimpulan tersebut benar. Di setiap zaman akan lahir pemikiran-pemikiran yang berbeda baik sebagai hasil perkembangan dari pemikiran sebelumnya maupun memberikan perspektif yang sama sekali baru. Pemikiran-pemikiran yang lahir dalam satu masyarakat akan diadopsi masyarakat di luar komunitas menjadi sebuah produk yang mencerminkan sifat, kekhasan, maupun tradisi generasi tersebut.
Film bisu Un Chien Andalou menjadi salah satu pionir aliran surealisme ketika impresionisme di Prancis mulai kehilangan pamornya yakni pasca Perang Dunia I. Sebelumnya impresionisme Prancis didominasi industri film komersil yang kebanyakan berasal dari AS (Hollywood) karenanya cerita yang dibangun tidak sesuai dengan realitas yang terjadi di Prancis yang mengalami keterpurukan pasca Perang Dunia I. Surealisme lalu hadir membawakan nafas baru dengan menekankan pada imajinasi alam bawah sadar manusia (mimpi).
Namun, aliran-aliran yang bermunculan ini mulai dimanfaatkan oleh industri seperti misalnya industri periklanan. Kehadiran aliran baru membuat mereka dengan segera mengadopsi aliran-aliran tersebut menjadi komoditas. Dalam industri perfilman misalnya, lahirnya film-film bernuansa dadais mendorong industri perfilman untuk memproduksi film dengan tema serupa. Alasannya? Selera pasar. Namun, hanya sekedar gaya semata sementara substansinya sama sekali tidak menunjukkan aliran tersebut secara murni.
Un Chien Andalou—walau harus ditonton berulangkali—menurut saya, mencoba menggebrak pakem-pakem yang selama ini secara tidak sadar diatur industri perfilman. Mungkin banyak film yang memasukan nilai-nilai psikoanalisis, seksualitas, dan abstrak di dalamnya. Tapi, yang membuat film ini berbeda adalah karena tiap orang punya pendapat berbeda tentang film ini. Dari sini, saya sepakat bila film merupakan produk zaman. Ketika era dadaisme, banyak ditemukan film-film dadaisme. Ketika muncul ide surealisme, banyak pula film-film bertema surealisme. Namun, saya kurang sepakat bila film merupakan produk masyarakat. Menurut saya, mungkin lebih tepat bila disebut produk industri perfilman yang dibuat atas nama masyarakat.





Kontroversi “V For Vendetta”

9 10 2010

Film besutan sutradara James McTeigue dan diproduseri Wachowski bersaudara ini, diadaptasi dari novel grafis yang ditulis Alan Moore. Film ini cukup kontroversial selain karena substansi film juga karena adanya perbedaan yang mencolok antara film dengan novel grafisnya yang menimbulkan kontroversi sendiri antara penulis novel dengan filmnya.
Film ini mengangkat dua isu utama yakni neo-konservatisme versus liberalisme di Inggris. Di sini, semua kejahatan negara yang tersembunyi dibeberkan.  Selain kedua isme tadi, film ini juga mengangkat soal homoseksual, terorisme, ras, bahkan hingga agama.  Film ini menggambarkan betapa perbedaan sebisa mungkin dihilangkan dan itulah salah satu kebobrokan negara yang dikuak.  Ketika ada penganut agama lain selain Kristen, ia diintimidasi bahkan hingga dibunuh. Demikian pula, dengan para homoseksual, mereka tak segan-segan dibunuh demi menciptakan sebuah ‘keteraturan’. Melalui film ini, citra negara seakan diluluhlantakkan dengan membuka kedok kinerja negara beserta perangkatnya yang sesungguhnya terjadi. Inilah yang menyebabkan film ini dilarang diputar di Italia, di beberapa negara lain waktu tayang film ini dibatasi. Kritik pedas juga terlontar dari berbagai kalangan terutama dari kalangan kristiani yang menganggap film ini melecehkan ajaran Kristen.

Namun, di sisi lain walaupun film ini sukses di pasaran dengan sejumlah kontroversi yang mencuat, menurut saya akan semakin kontroversi lagi bila substansi novel grafisnya benar-benar difilmkan. Banyak hal yang tidak diangkat ke dalam film, bahkan ide pokok novelnyapun berubah. Pada novel grafisnya, Alan Moore menekankan pada dua isu utama yakni fasisme versus anarkisme. Tujuan awal novel ini sebenarnya menawarkan sebuah ide mengenai anarkisme sebagai tatanan masyarakat yang lebih baik, bahkan di novel ini juga dijelaskan fase apa saja yang akan dihadapi menuju dunia yang anarki bukan dunia yang chaos seperti yang sering disalahkaprahkan oleh media. Hal ini terlihat jelas dalam satu bagian di novel tersebut ketika Evey bertanya pada V, apakah situasi seperti itu yang dikehendakinya (ketika itu penjarahan terjadi dimana-mana), dan V menjawab, “Anarki bukanlah seperti ini. Ini adalah chaos. Anarki adalah masyarakat ‘do-what-you-will’ (lakukan apa yang ingin kamu lakukan), sementara kekacauan ini hanyalah masyarakat ‘take-what-you-want’ (ambil yang kamu inginkan).” Kutipan ini menandai ide utama yang diusung novelnya dan penulisnya yakni Alan Moore yang juga seorang anarkis. Sementara, versi film, Wachowski bersaudara sebagai penulis naskah, mengganti dua isu utama tersebut dengan dalih menyesuaikan dengan realitas yang terjadi (di Amerika tentu saja karena film ini film Hollywood, padahal setting film ini di Inggris). Hal tersebut tentu mengurangi substansi pokok novel tersebut sehingga banyak yang dikecewakan baik penggemar novel Alan Moore, anarkis, hingga Alan Moore sendiri mengatakan versi film novel ini adalah sampah. Ia juga menolak namanya dimasukkan dalam credit title film ini. Menurut saya, di sinilah letak kontroversi lain dari film ini yakni ketika substansi dasar dari sebuah karya hilang ketika diadaptasi menjadi film. Bukankah itu menjadi dua karya yang berbeda?  Maka tidak tepat bila pada opening film tersebut disebut ‘based on novel written by…’

Kutipan film diambil dari diskusi film  http://www.indymedia.org





Perfilman Indonesia ‘Gagal’, Apa yang salah ?

9 10 2010

Cukup sulit untuk memahami apa permasalahan mendasar dari Perfilman Nasional. Dalam buku “Menguak Peta Perfilman Indonesia” yang diterbitkan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI (2004), permasalahan itu ternyata meliputi keseluruhan dari elemen perfilman baik produksi, distribusi, konsumsi, sensor, apresiasi, dan lain sebagainya. Persoalan dari masing-masing elemen tersebut memacu perfilman nasional ‘gagal’ menampilkan karya yang berkualitas sekaligus diterima audiens.
Saya sempat berdiskusi dengan lima orang teman saya—yang setiap bulannya selalu menonton film baik Indonesia maupun luar di bioskop—untuk mengetahui apa yang mendorong mereka untuk menonton film di bioskop. Secara umum, jawaban dari teman-teman saya menunjukkan bahwa motif utama mereka menonton film di bioskop adalah sebagai sarana hiburan dan penyegaran dari kejenuhan. Memang lima orang tentu tidak mewakili semua orang. Namun, menurut saya, di sinilah letak permasalahannya yaitu ketika film hanya dianggap sebagai sarana hiburan. Selesai menonton film, sudah selesai juga imajinasinya. Maka, tak salah bila industri perfilman nasional saat ini lebih gencar memproduksi film-film menghibur yang sayangnya tidak berkualitas. Gencarnya film-film tidak bermutu di pasaran, pada akhirnya membuat sebagian penonton bosan dan beralih ke film-film produksi luar negri. Akhirnya, apresiasi terhadap film nasional juga berkurang karena apriori terhadap setiap film Indonesia yang baru rilis. Sementara itu, sebagian lagi masih menyenanginya dan terjebak dengan film-film tidak bermutu namun menghibur, sehingga film-film tersebut bisa bertahan berminggu-minggu di bioskop mengalahkan film-film yang lebih dianggap bermutu.
Bukan hanya itu, penonton Indonesia cenderung memilih film-film dengan isu ringan, kalaupun berat asal dikemas dengan ringan. Sebut saja Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Tarix Jabrix, dan lain sebagainya, sedang film-film dengan isu berat seperti Gie, Kala, bahkan Fiksi. tidak terlalu mendapat perhatian lebih. Maka, para pembuat film harus berputar otak supaya karyanya bisa diterima dengan baik oleh penonton. Kalau toh isunya berat, maka mereka harus berusaha supaya tetap bisa diterima tanpa membuat penonton bingung, kalau tak ada pilihan ya akhirnya mereka mengalah dengan memproduksi isu-isu ringan yang kurang ‘greget’, beberapa sineas tetap membuat karya yang mereka inginkan tanpa peduli bagaimana reaksi penonton dan konsekuensinya sedikit penonton dan masa tayang di bioskop yang hanya beberapa hari saja.
Lalu bagaimana supaya audiens dapat merespons film-film bermutu yang mungkin isunya tidak biasa sama seperti halnya dengan film-film ringan dan menghibur? Jawabannya, dengan meningkatkan kecintaan  dan kritis terhadap film. Semuanya dimulai dari level mikro yakni individu itu sendiri. Menonton film bukan sekedar menonton akting para pemain atau ceritanya saja, tapi keseluruhan dari elemen film baik naratif, mise-en-scene, sinematografi, hingga tata suara dan musiknya. Jean-Luc Godard, sutradara kawakan asal Prancis pernah mengatakan “We were all critics before beginning to make films, and I loved all kind of cinema. It was the cinema that made us, or me, at least want to make films. I knew nothing of life except through cinema”. Ketika penonton memandang sebuah film sebagai media yang paling ampuh untuk mempengaruhi manusia dan memahami kehidupan, maka ia sudah setingkat lebih tinggi, lebih dari sekedar menikmati film sebagai sarana hiburan.

Referensi
Irawanto, Budi, dkk. (2004). Menguak Peta Perfilman Indonesia. Jakarta : Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI.
Pratista, Himawan.(2008). Memahami Film. Yogyakarta : Homerian Pustaka.





He’s just not that into you (2009)

9 10 2010

Director : Ken Kwapis
Starring : Ben Affleck, Jennifer Aniston, Jennifer Connelly, Scarlet Johansson, Drew Barrymoore, Kevin Connolly, etc

Dari judulnya aja, jelas fim ini film drama hollywood tentang percintaan. Kisah tentang relasi cinta antara mereka yang telah memutuskan menikah atau tinggal bersama, hingga mereka yang masih bebas dan mengharap cinta.

Seperti film-film drama romantis hollywood lain, film ini–menurutku–berakhir biasa saja, sekalipun banyak bintang bermain di film ini sebut saja Ben Affleck, Jennifer Aniston, Jennifer Connely, Scarlet Johansson, hingga Drew Barrymoore . Di awal film, mungkin kita diajak merefleksikan ‘what’s the importance of marriage’… kalau dua orang sudah bisa saling mengerti satu sama lain, berkomitmen, dan bisa menjalaninya tanpa beban buat apa menikah…

Ada satu dialog antara Bethy (Jennifer Aniston) dan Neil (Ben Affleck) yang merefleksikan renungan itu. Setelah menikah, seseorang akan melakukan hal itu bukan semata-mata karena dia senang melakukannya (untuk pasangannya tentu saja). Tapi karena mereka sudah menikah. JAdi hal ini seolah-olah menunjukkan ketika kita menikah, pembagian peran secara otomatis terjadi. Istri harus seperti ini, suami harus seperti ini. Tidak ada lagi niat hati terdalam. Tapi, ketika belum ada yang mengikat dua orang, selalu ada niat tertentu ketika melakukan sesuatu, sesuatu yang membahagiakan. Mungkin begitu maksudnya…

Untuk memperkuat anggapan itu, beberapa scene menggambarkan kehidupan  mereka yang telah menikah. sangat tidak menyenangkan, penuh kepalsuan, dilingkupi rasa bosan, dan tak ada gairah. Namun, di akhir film, anggapan yang senantiasa diperkuat sepanjang film jelas diputarbalikan habis-habisan. Happy Ending. Bukan memberi sudut pandang lain atas satu isu, tapi bagaimana membuat penonton senang. Dan ini terjadi di film ini..

Di awal film, aku cukup respek dengan keputusan Neil untuk tidak menikah, dan akhirnya mereka berpisah karena Bethy tidak sanggup hidup bersama terus tanpa tujuan pasti (yaitu menikah). Aku kira itu prinsip yang hanya sedikit orang yang mampu memegangnya. Namun, nyatanya di akhir film, demi membuat Bethy bahagia, prinsip itu dilawan. Jelas, ini hanya untuk membuat penonton juga bahagia. Jadi, selama ini dia cuma omdo toh? berkoar tentang prinsipnya?!

Kisah cinta lain di film ini juga sama biasanya dan aku masih heran apa yang membuatku meneruskan film ini sampai credit title. Oh, mungkin dia! Scarlett Johansson yang bermain lumayan dibanding yang lain (bahkan untuk seorang Jennifer Aniston loh). Kalau dia memang diposisikan sebagai cewe penggoda, berarti dia berhasil memainkannya. Tapi, kenapa cewe penggoda selalu digambarkan begitu sexy, blondie, tinggi, dan oh…that’s boops uhh…

Nah, itu dari segi naratif. Dari segi teknis seperti sinematografi dan mise-en-scene, aku tidak bisa berkata banyak karena aku juga tidak terlalu fasih dalam hal itu. Sebagai awam, aku melihat angle kameranya biasa saja, seolah ingin bermain ‘aman’ dan tidak berani bereksplorasi. Bahkan ada satu shot, dimana pengambilan gambar terasa amat kasar dan memakan waktu yang lumayan lama yaitu ketika ingin menshot SCarlet yang tengah berpikir di atas tempat tidurnya, namun pengambilan gambar dilakukan dari pintu, berjalan terus, baru sampai ke kasur, pergeseran kameranya pun terasa ‘dret-dret’ maksudnya ga mulus. Mungkin kalo diambil dari rentang jarak yang tidak terlalu jauh dan mulus, hasilnya akan lebih enak diliat.

Semoga sebenarnya ada sesuatu yang luput dari pandanganku, yang menjadikan film ini bukan sekedar film hollywood biasa, yang dibuat karena ada tuntutan produksi industri perfilman raksasa hollywood. Hmm…





Revolutionary Road (2008)

9 10 2010

Director : Sam Mendes
Based on novel from Richard Yates
Starring : Leonardo diCaprio, kate Winslet, Kathy bates, Michael Shannon

Film ini bukti lain kalau diCaprio tidak tertarik main film drama romantis yang tidak tragis. Film ini mempertemukan lagi dua sejoli Titanic dulu, namun dalam bingkai cerita yang lain.

Hidup damai di perumahan elit, bersama dua orang anak, dan benar-benar berperan selayaknya suami dan istri nyatanya tidak membuat hidup terasa hidup. Kemonotonan seakan menjadi momok yang samar-samar menjadi senjata bagi diri sendiri. Hal ini rupanya disadari oleh April (Kate Winslet). Betapa ‘mati’nya mereka ketika setiap hari melakukan pekerjaan yang sama. Demi uang dan hidup nyaman (yang ditakar dari materi), manusia rela bekerja banting tulang, pagi pulang malam, berhadapan dengan pekerjaan membosankan, akhirnya hanya berakhir menyedihkan (sekalipun banyak uang).

 

“All I know bout life is I wanna feel things”, kutipan itu mengingatkanku pada lirik lagu Echobelly, ” I wanna do great things, I dont want to compromize, I wanna know what life is”. Berarti sebenarnya setiap orang menyimpan mimpi akan hidup, tapi selalu tenggelam dengan rutinitas, membuat semuanya tampak wajar padahal ada yang salah, tentu saja.

Dan pada akhirnya lebih baik mati daripada menyerah pada kemunafikan.. loh ko jadi ingat Soe Hoek Gie.
Tapi, menurutku film ini memberi refleksi akan hal itu.

Dari segi mise-en-scene, aku cukup puas melihat akting dua sejoli ini. Mimik mereka ekspresif. Melihat mimik mereka aja, emosi kita bisa ikut terpengaruh entah jadi ikut stres, bergairah, semangat, dan sebagainya.

Di samping itu, mungkin karena tema film ini yang agak kelam, maka pengambilan gambar sengaja diperlambat. Memberi detail pada tiap shot.

yah, begitulah… seperti yang Godard bilang kalau kita belajar hidup dari film, rasa-rasanya tepat kalau film ini menjadi sejenis sentilan buat kita, untuk berpikir ulang, what’s life really about?





When I dream about the storm that ends

9 10 2010

written by : Reyhart Rumbayan
I was smiling and running up-hill. I saw the grey sky closing the light as the pine trees turned dark-green and my heart beating at a slow pace. I am determined to arrive to the top, to see the sky closer, so as to clear my doubts out of the ashes of yesterday and year, where everything begins and ends.

I saw many people up there. They were drinking wine and smiling to each other. It seems mild and peaceful and also the climate is wondrous. This people! whom I never met. But everything soon to be change. I see the skies raining snow. It was indeed, a mild afternoon, and I am chilled with the landscape, where the dominant colors was grey and green. Neither sadness nor excessive happiness. It was a light run up to the hill. No heavy breath but I have to continue to run, this time downhill.

As I was running I saw a beach from a far. It was also beautiful. I can see the shore where there are people running towards an end. And all the ships is harboured properly, parked like those pine trees besides the street. It’s a disciplined and inorganic landscape. Soon I can encounter the warmth of the air. The snowing is only on the top. I flirt my eyes for a second to see the last snow from a distance.

Closer to the end, which is a beautiful dutch-colonial house with a modern touch, I come to ask myself: “Where am i?” I keep asking that question until I arrived to the house and found myself to be congratulated with clappings of old people and some people that I knew but of which I didn’t know any names.

I entered the kitchen looking for drinks where I found many people are talking endlessly. I feel like I’m home. I feel like I want to be devoted to these people. To that people on the top. To the soothing snows that falls and all that blessed around there. The wholeness is so comfortable and I don’t want to stop. So I face myself up to the roof, I can see a transparent glass showing moving clouds, anxiously white and grey and sometimes dark, weaving the sky with mysterious threadt and motives.

“What is that?” A women suddenly broke out with a fearful tone and hesitation.

No one answered. But some old man, tried to stand on his own weak feet, pointing at the sky, and while he say, in a slow and bitter tone:

“Storm is coming”, we all hear a tapping on the roof and the whole universe is raining…

I ducked my head and some people hide their body in a shy and paranoid way, fear of something bad will happen. My head was lurking down but my eyes wont roll down. I still see the weaving clouds, the silent rage above the sky. And roaring sounds coming. The thunder blasting. From the sound we can all imagine how it was weaved through the air and destroys everything that It encounters. You can feel the snow and pine trees were being destroyed. The roaring sounds is getting bigger and took a blast in our ears. For sometime soon I feel the house is collapsing. The more closer the sound of the storm comes, the more I stand and looked at the roof. I am wondering. I am afraid. Of a sudden impact that going to ruin the things that I love in my life. Something is retaliating. It is getting closer. Closer as the thunder is rolling and roaring and crashing everything down. And finally it’s on our house, the rolling and roaring sound, the blistering winds, the emptying of hearts. And while our desire was chicken away by the storm, and all of our life concepts and utopia end at that very moment, we suddenly sense the purifying of things, that somehow “having” is the same thing as “losing”.

And the end of everything also feels like a beginning of something.

As the sound of the roaring and rolling thunder end, there are people who still anxiously hiding, a post-apocalypse moment of awakening. And I see some people are also smiling with their teary eyes, full with hope. And when the dramatic moment ends, no one is anxious to go outside…