Perfilman Indonesia ‘Gagal’, Apa yang salah ?

9 10 2010

Cukup sulit untuk memahami apa permasalahan mendasar dari Perfilman Nasional. Dalam buku “Menguak Peta Perfilman Indonesia” yang diterbitkan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI (2004), permasalahan itu ternyata meliputi keseluruhan dari elemen perfilman baik produksi, distribusi, konsumsi, sensor, apresiasi, dan lain sebagainya. Persoalan dari masing-masing elemen tersebut memacu perfilman nasional ‘gagal’ menampilkan karya yang berkualitas sekaligus diterima audiens.
Saya sempat berdiskusi dengan lima orang teman saya—yang setiap bulannya selalu menonton film baik Indonesia maupun luar di bioskop—untuk mengetahui apa yang mendorong mereka untuk menonton film di bioskop. Secara umum, jawaban dari teman-teman saya menunjukkan bahwa motif utama mereka menonton film di bioskop adalah sebagai sarana hiburan dan penyegaran dari kejenuhan. Memang lima orang tentu tidak mewakili semua orang. Namun, menurut saya, di sinilah letak permasalahannya yaitu ketika film hanya dianggap sebagai sarana hiburan. Selesai menonton film, sudah selesai juga imajinasinya. Maka, tak salah bila industri perfilman nasional saat ini lebih gencar memproduksi film-film menghibur yang sayangnya tidak berkualitas. Gencarnya film-film tidak bermutu di pasaran, pada akhirnya membuat sebagian penonton bosan dan beralih ke film-film produksi luar negri. Akhirnya, apresiasi terhadap film nasional juga berkurang karena apriori terhadap setiap film Indonesia yang baru rilis. Sementara itu, sebagian lagi masih menyenanginya dan terjebak dengan film-film tidak bermutu namun menghibur, sehingga film-film tersebut bisa bertahan berminggu-minggu di bioskop mengalahkan film-film yang lebih dianggap bermutu.
Bukan hanya itu, penonton Indonesia cenderung memilih film-film dengan isu ringan, kalaupun berat asal dikemas dengan ringan. Sebut saja Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Tarix Jabrix, dan lain sebagainya, sedang film-film dengan isu berat seperti Gie, Kala, bahkan Fiksi. tidak terlalu mendapat perhatian lebih. Maka, para pembuat film harus berputar otak supaya karyanya bisa diterima dengan baik oleh penonton. Kalau toh isunya berat, maka mereka harus berusaha supaya tetap bisa diterima tanpa membuat penonton bingung, kalau tak ada pilihan ya akhirnya mereka mengalah dengan memproduksi isu-isu ringan yang kurang ‘greget’, beberapa sineas tetap membuat karya yang mereka inginkan tanpa peduli bagaimana reaksi penonton dan konsekuensinya sedikit penonton dan masa tayang di bioskop yang hanya beberapa hari saja.
Lalu bagaimana supaya audiens dapat merespons film-film bermutu yang mungkin isunya tidak biasa sama seperti halnya dengan film-film ringan dan menghibur? Jawabannya, dengan meningkatkan kecintaan  dan kritis terhadap film. Semuanya dimulai dari level mikro yakni individu itu sendiri. Menonton film bukan sekedar menonton akting para pemain atau ceritanya saja, tapi keseluruhan dari elemen film baik naratif, mise-en-scene, sinematografi, hingga tata suara dan musiknya. Jean-Luc Godard, sutradara kawakan asal Prancis pernah mengatakan “We were all critics before beginning to make films, and I loved all kind of cinema. It was the cinema that made us, or me, at least want to make films. I knew nothing of life except through cinema”. Ketika penonton memandang sebuah film sebagai media yang paling ampuh untuk mempengaruhi manusia dan memahami kehidupan, maka ia sudah setingkat lebih tinggi, lebih dari sekedar menikmati film sebagai sarana hiburan.

Referensi
Irawanto, Budi, dkk. (2004). Menguak Peta Perfilman Indonesia. Jakarta : Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI.
Pratista, Himawan.(2008). Memahami Film. Yogyakarta : Homerian Pustaka.


Actions

Information

Leave a comment